Minggu, 25 Maret 2012

Piso Halasan



Piso Halasan
Jabu bolon




I. PENDAHULUAN
Pada kenyataannya suku yang terdapat di Indonesia banyak sekali ragamnya. Semua itu tersebar di sepanjang Nusantara ini, dari Sabang sampai Merauke. Seluruh suku bangsa tersebut memiliki budaya masing-masing, yang mana setiap daerah memiliki perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari cara berpakaian, bentuk rumah, peralatan hingga pada kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Suku Batak terbagi dalam 6 suku yaitu : 1. Toba, 2. Angkola, 3. Mandailing, 4. Simalungun, 5. Dairi (Pak-pak Dairi), dan 6. Karo[1]. Keenam suku ini adalah satu rumpun, namun memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari gaya bahasa, bentuk rumah, peralatan, pakaian dan lain-lain.
Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ada berbagai macam budaya sebagaimana halnya juga seperti suku-suku bangsa lainya. Dimana mereka juga memiliki pakaian adat tersendiri, senjata, rumah, dan juga kesenian.
Di zaman modern sekarang ini, mungkin untuk dapat mengenal kembali budaya tersebut sangat sulit. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan, agama dan teknologi, sehingga masyarakat lebih mengikutinya. Walaupun demikian bukan berarti budaya Batak Toba lenyap.
Makalah ini akan mencoba membahas salah satu budaya yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba secara khusus senjatanya. Dapat dikatakan alat ini hampir tidak dikenal oleh sebagian masyarakat Batak Toba yang sudah tinggal di perkotaan.
Ada berbagai macam senjata dari masyarakat Batak Toba, contohnya : hujur, tombak, Kapak, Busur (panah), Piso Halasan, Piso gajah dompak, Piso pangabas,  dan lain­-lain. Dalam sajian ini jenis senjata yang akan dibahas adalah Piso Halasan. Piso Halasan adalah suatu alat yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba yang diyakini memiliki kemampuan yang luar biasa.

II.         PISO HALASAN
2.I. Pengertian
Perkataan Piso Halasan berasal dari bahasa Batak Toba. Menurut Kamus Bahasa Batak, Piso Halasan adalah pisau sakti yang dimiliki oleh para Raja atau Datu, bentuknya lurus pada ujungnya terdapat lekukan dan sebelah sisinya tajam[2]. Piso Halasan dalam bahasa Indonesia disebut dengan Parang atau pedang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Parang adalah pisau besar (lebih besar dari pada pedang) yang salah satu sisinya tajam, sering digunakan berburu atau keperluan sehari-hari. Sedangkan Pedang adalah pisau yang tidak terlalu panjang sisi tajamnya ada yang sebelah saja tetapi ada juga yang kedua sisinya tajam, pisau ini sering digunakan berperang dan juga untuk menjaga diri.
Dari pengertian diatas Piso Halasan mencakup pengertian dari keduanya. Parang jika ditinjau dari segi bentuknya dominan kepada Piso Halasan dimana keduanya sama sisi tajamnya hanya parang terdapat pada satu sisi saja. Demikian halnya dengan pedang berdasarkan fungsinya dominan pada Piso Halasan dimana keduaduanya dipergunakan untuk berperang dan juga menjaga diri.
Tetapi walaupun kedua-duanya sama-sama dominan Piso Halasan memiliki kelebihan tersendiri yaitu, kesaktianya yang dapat dengan cepat melumpuhkan musuh. Dengan seperti itu dapat diketahui bahwa Piso Halasan memiliki suatu kekuatan sihir diluar jangkauan pikiran manusia seperti yang diyakini masyarakat Batak Toba.

2.2. Makna Piso Halasan
Dalam orang Batak Toba senjata pada umumnya digunakan untuk berperang (melawan usuh) dan menjaga diri[3]. Selain itu senjata juga memiliki peranan lain yaitu sebagai lambang tingkat kedudukan, kekayaan dan juga kesaktian. Jadi dari jenis senjata yang dipergunakan oleh seseorang dapat diketahui tingkatan atau jabatannya. Penggunaan senjata seperti itu masih ada hingga abad ke - 19 pada suku Batak Toba.
Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) umumnya tidak berukuran terlalu panjang, kira-kira ± 70 cm sampai dengan 1 meter. Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) bentuknya lurus, ujungnya melengkung kira-kira 2 cm dan hanya satu sisinya yang tajam. Gagangnya biasanya dibuat dari tanduk rusa atau kuningan yang terlebih dahulu diukir indah dengan makna yang tersendiri. Dibagian gagangmya ini sering diukir menyerupai Tokoh yang Berjongkok dengan posisi tangan diatas lutut dan ujung jari tangan pada dagu. Tokoh ini diyakini sebagai mahluk gaib yang dapat melindungi[4]. Sedangkan sarungya terbuat dari kayu yang dilapisi kulit pilihan, sebab tidak dapat semabarangan kayu dan kulit yang dapat menjadi sarung dari pisau sakti ini. Kemudian dibuat ukiran pada pangkal sarung tersebut menyerupai, singa bertanduk tiga. Ukiran ini mengartikan bahwa yang memiliki Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) adalah orang yang pemberani pantang menyerah. Disisi lain dari sarung Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) itu ada juga ukiran berupa kadal (ilik atau boraspati ni tano). Ukiran ini diyakini salah satu unsur kayangan Batak, yang melambangkan kemakmuran, kesuburan tanah dan dunia bawah. Ukiran-ukiran ini biasanya terdapat dalam berbagai peralatan masyarakat Batak Toba.
Lain halnya dengan Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) yang dimiliki oleh para Raja. Biasanya Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) yang dimiliki oleh raja istimewa karena bahan untuk gagang dan sarungnya sedikit berbeda. Gaganganya terbuat dari gading oleh karena itu Piso Halasan yang dimiliki oleh Raja disebut dengan Piso Gading. Gading yang digunakan jarang dibuat ukiran tetapi hanya mengikuti lekukanya. Sarungnya sama dengan Piso Halasan, memiliki ukiran yang tidak jauh berbeda, hanya pada tersebut terdapat rantai. Rantai ini ada yang dibuat dipangkal salah satu ujungnya dan satu lagi dibagian tengah sarung tersebut. Ada juga kedua ujung rantainya terletak dipangkal sarung Piso Gading tersebut. Hal ini ditentukan oleh permintaan raja yang ingin memiliki Piso gading tersebut. Senjata yang dua ini (Piso Halasan dan Piso Gading) umumnya mengandung racun yang mematikan. Racun yang dibuat dalam Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba) tersebut sangat cepat bereaksi merangsang otak menjadi lemah dan menyerang jantung sehingga sangat berbahaya bagi para musuhnya. Racun itu dolesi diujung sisi tajam yang belekuk itu. Racun ini disebut dengan “Rasun Nipu".
Membuat Pedang atau parang (Piso Halasan, Gading -Toba) bukanlah hal yang mudah. Hanya orang tertentu saja yang dapat membuatnya yaitu para Dukun (datu). Datu-lah yang mencari bahan sampai menyelesaikannya. Datu jugalah yang membuat ramuan Rasun Nipu yang mematikan itu. Bahan-bahan untuk racun ini biasanya diambil dari hutan dari berbagai jenis tumbuhan. Tidak ada orang yang mengetahui ramuan itu kecuali para datu. Selain membuat, meramu racun, datu juga bertugas untuk memasukan kesaktiannya pada Pedang atau parang (Piso Halasan, Gading­Toba) tersebut.
Setelah selesai semuanya itu dibentuk datu, maka Pedang atau parang (Piso Halasan, Gading-Toba) akan memiliki 2 rnacam keampuhan yang sangat luar biasa yang tidak dapat diciptakan oleh manusia modern. Keampuhan dari Piso tersebut adalah :
1.     Mampu menghindarikan diri dari penglihatan musuh, dalam bahasa Batak Toba disebut dengan "uti-utian panutupi".
2.     Mampu menciptakan kekacauan dikalangan musuh, dalam bahasa Batak disebut              "uti-utian sabung-sabung"
Kedua keampuhan inilah yang dimasukan oleh para datu kedalam Pedang atau parang (Piso Halasan, gading -Toba) itu. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kesaktian dari pada senjata itu gambaran dari ilmu peperangan.
Selain dipakai berperang dan menjaga diri, Piso Halasan juga dipergunakan dalam kegiatan yang berhubungan dengan adat dan istiadat, misalnya dalam cara pernikahan. Jika seseorang menikah, maka yang memegang Piso Halasan adalah hula-hulanya. Piso Halasan diselipkan di bagian kiri perut. Dalam masyarakat Batak, tidak semua semua marga yang memiliki Piso Halasan. Contohnya marga dari Pomparan Nairasaon, Pomparan Sirajaoloan, dan lain-lain.
Pemakaian Piso Halasan ini masih dapat dilihat di daerah Toba, misalnya di Samosir dan Bakara. Selain dipakai dalam acara adat, Piso Halasan juga berfungsi untuk menunjukkan atau melambangkan kekuasaan seorang pemimpin.

2.3. Pengaruh Agama Kristen Terhadap Penggunaan Piso Halasan.
Piso Halasan sudah sangat jarang ditemukan saat ini, karena pada umumnya masyarakat Batak Toba berpindah tempat ke daerah yang telah ada penduduknya. Seiring perkembangan zaman, orang Batak "Toba menyadari bahwa dengan memiliki pengetahuan maka Hamoraon, Hagabeon, dohot Hasangapon dapat terwujud.
Secara umum, agama kristen tidak menolak budaya-budaya Batak. Gereja menerima segala adat dan bentuk upacara yang tidak bertentangan dengan amanat Kristus[5]. Sifat kekafiran yang terdapat dalam adat Batak haruslah dihilangkan. Misalnya : Sihir, kepercayaan akan roh halus, dan pemberian sesajen (bunti). Hal ini berarti bahwa apa saja yang terdapat dalam adat Batak yang bersih dari takhyul disambut baik oleh gereja.
Meskipun kekafiran berlawanan dengan ajaran Agama Kristen, namun janganlah dilupakan bahwa "kekafiran orang Batak adalah pelopor kepada kekristenan" atau lebih sering disebut kekafiran sebagai Preparatio evangelica[6]. Sehingga dalam hal ini injil tampil sebagai penyempurna untuk menyempurnakan adat Batak yang mengandung kekafiran menjadi adat Batak yang diisi dengan ajaran Kristen. Penyempurnaan oleh injil , dilakukan dengan mengadakan sedikit perubahan pada adat dan bentuk upacara adat Batak, yang disebut dengan upacara peralihan. Pandangan mengenai hubungan budaya dengan agama Kristen, jelas kelihatan dalam perubahan yang diadakan pada acara-acara peralihan dalam hidup manusia (Rites de Passage)[7] .
         Jarangnya dijumpai senjata, Pedang atau parang (Piso Halasan, Toba), menimbulkan kesulitan untuk menemukan acara-acara peralihan dari budaya itu. Tetapi sosialisasi acara peralihan itu dapat juga dilakukan dengan mengubah sifat kekafiran yang terdapat dalam kekuatan magis Piso Halasan. Misalnya dengan fungsi Piso Halasan yang biasanya digunakan melawan musuh dijadikan menjadi suatu alat untuk dipergunakan dalam hidup sehari-hari. Dan kepercayaan terhadap dunia alam gaib, tahayul, dan lain-lain berobah menjadi kepercayaan terhadap Allah.
Ada pun alasan dari pengadaan peralihan dalam budaya adat Batak khususnya Piso Halasan adalah seperti yang tertulis dalam Surat 1 Petrus 1 :18 yang berbunyi ;
"Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana,
bukan pula dengan perak atau emas"

III. KESIMPULAN
Adat Batak pada mulanya mengandung unsur kekafiran tapi karena Lahirnya kekristenan, maka dalam masyarakat Batak  ajaran kekeristenan berkembang. Sama halnya dengan Piso Halasan dahulunya sangat ditakuti oleh bangsa lain karena kesaktiannya kini sangat sulit melihat kesaktianya secara langsung di daerah Batak bermukim khususnya mereka yang tidak tinggal di Bonapasogit. Dari sini dapat diketahui bahwa agama Kristen sangat berpengaruh kepada Budaya Batak. Oleh karena itu sifat-sifat masyarakat Batak yang mengandung kekafiran dapat beralih tanpa mengahapus semua budaya Batak. Peralihan dapat dilakukan, diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini berarti mewujudkan terpeliharanya budaya Batak dan apa yang dikaryakan manusia dihargai.




KEPUSTAKAAN



Hasibuan, Jamaludin, S. DR.,                      Seni Budaya Batak, Djakarta,
                           1985.
Josten, P. Leo,                                            Kamus Bahasa Batak-Indonesia, Bina Media, Medan,
                           2001.
Lembaga Alkitab Indonesia,                          Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta
                           1995.
Purwodarminta, WJ.S.,                                Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, Jakarta,
                           1985.
Subagia, R.,                                                Agama Asli Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta,
                           1981.
Schreiner, Lothar,                                        Adat dan Injil, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
                           1996.
Siahaan, N. BA.,                                         Sedjarah Kebudayaan Batak, CV. Napitupulu and Sons, Medan,
                           ____                                                 


[1] N. Siahaan, BA, Sedjarah Kebudayaan Batak-Medan,-------CV Napitupulu and Sons, Hlm 17.
[2] P. Leo Joosten, Kamus Bahasa Batak Toba-Indonesia, Bina Media Medan. 2001
[3] DR. Jamaludin S. hasibuan, Seni Budaya Batak, Djakarta, 1985, Hlm.279.
[4] DR. Jamaludin S. hasibuan, Ibid, Hlm.194
[5] R. Subagja, Agama Asli Indonesia, Sinar harapan, Jakarta, 1981, Hlm.22
[6] Lothar Schreiner, Adat dan Injil, (Jakarta: BPK - Gunung Mulia) 1996, hlm.153
[7] Lothar Schreiner, Ibid, hlm.155